MAKALAH JUAL BELI SALAM DAN IJON



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah jual beli syar’i seperti jual beli salam dan ijon pada saat ini mulai membumi seiring dengan perkembangan perbankan syariah dan lembaga-lembaga keuangan syariah. Akan tetapi banyak pertanyaan mengenai hakikat jual beli Islam, dan banyak pula yang menyampaikannya dengan tidak benar. Oleh karena itu, perlu pengkajian yang lebih mendalam mengenai jual beli dalam Islam dengan mengaitkannya dengan hadis-hadis yang ada.
Makalah ini membahas mengenai hadis jual beli, karakteristik, pengertian serta penjelasan yang dengan harapan dapat mencerahkan kaum muslimin tentang jual beli dalam Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan jual beli salam?
2.      Apakah yang dimaksud dengan jual beli ijon?
3.      Bagaimana hukum jual beli salam dan ijon?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui definsi jual beeli salam
2.      Untuk mengetahui definisi jual beli ijon
3.      Untuk mengetahui hukum jual beli salam dan ijon
BAB I
JENIS JUAL BELI

A. Jual Beli Salam
Melihat dewasa ini kehidupan manusia yang semakin kompleks dengan masalah transaksi, Islam memperlebar ajaran yang lebih terperici mengenai masalah jual beli, tentang syarat-syarat jual beli maupun rukun-rukun jual beli. Namun dalam Islam, jauh sebelum adanya sistem jual beli seperti sekarang ini, Rasul telah memberikan keringanan dalam hal pemesanan dan penyerahan objek yang diperjualbelikan ini. Jual beli dapat dilakukan meskipun objek transaksi tidak ada pada saat dan di tempat transaksi dilakukan. Jual beli ini dikenal dengan istilah jual beli salam yang juga dikenal dengan jual beli as Salaf.[1]
Kata “salam” berasal dari kata “at-taslim” (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan kata “as-salaf” (السَّلَف) yang mengandung pengertian 'memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil di kemudian hari'.[2] Pengertian ini terkandung juga dalam firman Allah Ta'ala: “(Kepada mereka dikatakan), 'Makan dan minumlah dengan sedap, disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.'” (QS. Al-Haqqah: 24).
Sedangkan, para ulama mendefinisikan “jual beli salam” dengan ungkapan 'jual beli barang yang disifati (dengan kriteria tertentu/ spesifikasi tertentu), dalam tanggungan (penjual), dengan pembayaran kontan di majelis akad.[3] Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa “jual beli salam” adalah 'akad pemesanan suatu barang yang memiliki kriteria yang telah disepakati, dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan'.
Dengan demikian, “jual beli salam” adalah akad jual beli yang memiliki kekhususan (karakteristik) yang berbeda dari jenis jual beli lainnya, dengan dua hal:
1.      Pembayaran dilakukan di awal (secara kontan di majelis akad), dan dari sinilah sehingga “jual beli salam” dinamakan juga “as-salaf”.
2.      Serah terima barang oleh pembeli yang membelinya diakhirkan sampai waktu yang telah ditentukan dalam majelis akad (dari kitab Nihayatul Muhtaj Syarah Minhaj Ath-Thalibin, karya Ar-Ramli.[4]
Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual beli salam ini, Ibnu Qudamah rahimahullah menyetujui penukilan ijma’ ini, dengan menyatakan, “Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan bahwa as-salam itu boleh.”[5]


1.      Hadis Jual Beli Salam
عَنِ ۬ابْنِ۬ عَبّا سٍ قَالَ قَدِمֺَانَّبِيّْ صَلَّ اللّٰهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُمٍ إِلَى أَجَلٍ معْلُمٍ[6]
“Ibn Abbas menyatakan bahwa ketika Rasul datang ke Madinah, penduduk Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan untuk jangka satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasul bersabda: Siapa yang melakukan salam hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu.”

2.      Sebab Wurud Hadis
Hadis di atas muncul sebagai reaksi Rasulullah terhadap kebiasaan orang Madinah yang melakukan jual beli salam dalam waktu satu atau dua tahun. Koreksian diberikan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadis terhadap ketidakjelasan waktu penyerahan barang, atau pada spesifikasi barang yang diperjualbelikan dari segi ukuran dan kualitasnya.[7]

3.      Syarah Hadis
Dapat diartikan berdasarkan hadis di atas bahwasanya jual beli merupakan aktivitas yang tidak menutup kemungkinan adanya praktik penipuan baik dari segi kualitas, kualitas ataupun waktu. Oleh karena itu Rasulullah memberikan aturan yang khusus mengenai hal ini, agar kegiatan jual beli salam dapat terorganisir dengan baik karena adanya aturan-aturan yang diberlakukan agar pihak-pihak yang bertransaksi tidak saling mengalami kerugian.
Jual beli salam sudah ada sejak sebelum Islam memasuki Madinah. Lalu Islam menerima praktik jual beli salam dengan syarat. Terlihat Islam melakukan pengkoreksian terhadap kebiasaan orang Madinah mengenai jual beli salam. Syarat yang ditentukan antara lain; jelas takarannya, jelas timbangannya, dan jelas batas waktu penyerahan barang.
Untuk memastikan kriteria jelas (ma’lum) dalam hadis di atas harus ada kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak, tentunya juga harus ada perjanjian tertulis tentang berapa banyaknya dan kapan waktu penyerahannya. Hal itu untuk menghindari terjadinya pertikaian antara penjual dan pembeli di kemudian hari dan untuk menjaga hak masing-masing.[8]
Meskipun ada larangan Rasul tentang menjual sesuatu yang tidak ada dalam kepemilikan, tidak bertentangan dengan kebolehan salam, karena jual beli salam tidak menjual sesuatu yang tidak dimiliki, tetapi menjual sesuatu yang belum/tidak ada pada saat transaksi dilakukan, sementara kriteria atau spesifikasi barang, jenis kualitas dan kuantitasnya sangat jelas. Jadi sama dengan jual beli biasa, yang waktu penyerahan bendanya ditangguhkan dalam waktu tertentu.
Jual beli salam hukumnya sah jka dilakukan sesuai dengan memperhatikan ketentuan yang sudah disepakati pada waktu transaksi dilakukan, baik kualitas barang maupun kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang. Meskipun dilihat dari satu aspek barang yang diperjualbelikan tidak ada pada saat transaksi, namun pada jual beli salam barang yang dijualbelikan jelas baik kualitas atau pun kuantitasnya.

4.      Kandungan Hadis
a.       Jual beli salam merupakan jual beli yang sudah ada semenjak masa pra Islam, Islam memberikan koreksian terhadap tata cara melakukannya.
b.      Dalam jual beli salam harus jelas spesifikasi barang yang diperjualbelikan, sehingga jenis, ukuran, kualitas, kuantitas dan harga serta waktu penyerahan barang sudah jelas bagi kedua belah pihak.
c.       Kebolehan jual beli salam, meskipun barang yang dijadikan objek belum ada pada saat transaksi dilakukan akan tetapi barangnya sudah jelas baik kualitas atau kuantitasnya.

B. Jual Beli Ijon
Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjualbelikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.[9] Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.
Dari pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau biji-bijian yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan menjual buah atau biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan secara jelas wujud matang atau kerasnya.
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
1.   Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
2.   Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3.   Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.[10]
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.[11]

1.      Hadis Jual Beli Ijon
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَلِكِ رَضِي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَة حَتَّى يَبْدُوَصلاحُهَاوَعَنِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَقَا لَ يَحْمَارُّأَوْيَصْفَارُّ٭[12]
Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW melarang jual beli buah-buahan sampai sudah jelas bentuknya (pantas untuk dipetik).

2.      Syarah Hadis
Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nyata baiknya adalah di masa Rasulullah Saw, manusia menjual beli buah-buahan sebelum tampak kebaikannya. Apabila manusia telah bersungguh-sungguh dan tiba saatnya pemutusan perkara mereka, maka berkatalah si pembeli “masa telah menimpa buah-buahan, telah menimpanya apa yang merusakannya”. Mereka menyebutkan cacat-cacat berupa kotoran dan penyakit ketika mereka semakin banyak bertengkar dihadapan Nabi Saw, maka beliau pun berkata “janganlah kamu menjual kurma sehingga tampak kebaikannya (matang)”.[13]
Buah-buahan dan biji-bijian dalam proses menuju matang memiliki kemungkinan untuk gagal panen. Karena ada berbagai macam hal yang dapat menyebabkan itu seperti adanya perubahan musim, hama atau bencana alam. Kenyataan ini dijadikan dasar untuk memberikan aturan dalam menentukan waktu pantasnya buah-buahan atau biji-bijian itu dapat diperjualbelikan.
Telah dikemukakan bahwa dalam jual beli menurut Islam ada aturan yang sangat jelas tentang objek yang diperjualbelikan. Objek jual beli harus jelas baik kualitas, kuantitas dan jenisnya. Untuk buah-buahan atau biji-bijian kematangan menjadi persyaratan untuk dapat dijual. Oleh karena itu, dalam hadis terdapat larangan Rasulullah SAW. melakukan jual beli ijon. Karena ada spekulasi yang akan mendatangkan keuntungan lebih atau kerugian bagi penjual atau pembeli.
Dapat dikatakan bahwa aturan tentang adanya jual beli ijon ini memberikan jaminan bagi penjual atau pun pembeli, agar tidak terjadi penyesalan ataupun rasa dirugikan dengan kemungkinan yang dapat saja muncul di belakang.
Dalam kenyataan sehari-hari terdapat adanya praktek ijon di kalangan masyarakat, baik dalam penjual-belian buah-buahan ataupun biji-bijian, sehingga perlu adanya pelurusan pemahaman dan melihat praktek yang sebenarnya.[14]

3.      Kandungan Hadis
a.       Jual beli ijon dilarang dalam Islam secara eksplisit dalam hadis Rasulullah SAW.
b.      Untuk jual beli buah-buahan dan biji-bijian harus sudah mendekati matang.
c.       Kematangan buah-buahan dapat dilihat dari kedekatannya dengan warna aslinya
d.      Untuk biji-bijian indikator kematangan terlihat dari kerasnya biji
e.       Larangan jual beli ijon, mempunyai tujuan untuk menjaga:
1)      Objek yangdiperjualbelikan dapat dioptimalkan pemanfaatannya
2)      Penjual terhindar dari penyesalan yang akan muncul apabila hasil yang dipanen tidak sesuai dengan perkiraan waktu transaksi.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jual beli salam merupakan jual beli berdasarkan akad pemesanan suatu barang yang memiliki kriteria yang telah disepakati, dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Sedangkan jual beli ijon yaitu memperjualbelikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.
Hukum jual beli salam adalah diperbolehkan, sesuai dengan hadis Rasulullah yang mengajurkan bahwa ketika melakukan jual beli salam harus memperhatikan kualitas, kualitas dan waktu yang tepat. Sedangkan jual beli ijon dilarang dalam Islam secara eksplisit sesuai dengan hadis Rasulullah karena untuk menjaga pengoptimalan manfaat dari buah-buahan yang diperjualbelikan dan untuk menghindari penyesalan yang mungkin akan muncul karena perkiraan waktu transaksi dengan hasil panen yang tidak sesuai.

B.     Saran
Sebagai umat Islam sudah seharusnya segala kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan murni halal dan sebaiknya menghindari hal-hal yang dilarang karena hanya akan merugikan. Pada dasarnya apa yang dilarang dalam Islam merupakan hal-hal yang memang tidak baik bagi umat. Termasuk dalam jual beli hendaknya setiap umat dapat menjalankannya dengan jalan yang benar dan menghndari yang bathil.


DAFTAR PUSTAKA

Enizar. 2010 Syarah Hadis Ekonomi 2. Metro. _______
Syekh Shalih Al-Fauzan. _____ Min Fiqhi Al-Mu’amalat/ ______
Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar. ______ Buhuts Fiqhiyyah fi Qadhaya Iqtishad Al-Mu’asharah. ____
Ibnu Al-Mundzir. _____.  Al-Ijma’. _______. ______
Al-Bukhari. _____. Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Indonesia: Maktabah Dahlan.
Hamzah Ya’qub. 1992. Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi). Bandung: CV. Diponegoro
Ghufron A. Mas’adi, 20002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta. Rajawali Pers
Ibnu Rusyd. 1990. Terjemah Bidayatul Mujtahid. Semarang: CV. As-Sifa.



[1] Prof. Dr. Enizar, Ma, Syarah Hadis Ekonomi 2, 2010, hlm. 69
[2] Syekh Shalih Al-Fauzan, Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm.148
[3] Ibid
[4] Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Buhuts Fiqhiyyah fi Qadhaya Iqtishad Al-Mu’asharah, 1 hlm. 183).
[5] Ibnu Al-Mundzir, Al-Ijma’, hlm. 93
[6] Al-Bukhari, Juz 2, hlm. 842, 845-846; Abu Daud, Juz 3, hlm. 275-276; Syarh Al-Bukhari, Juz 4, hlm. 87-90 dan 116-122
[7][7] Prof. Dr. Enizar, Ma. Op.Cit., hlm. 71
[8] Ibid
[9] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV. Diponegoro, Bandung, 1992, hlm. 124
[10] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 139
[11] Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990, hlm. 52
[12] Al-Bukhari, buyu’ kitab buyu’ no. 2047; Muslim, kitab musaqah no. 2906 dan 2907; al-Nasa’i, Kitab Buyu’ no. 4450; Malik, kitab buyu’ no. 1128
[13] Ibnu Rusyd, op. cit, hlm. 54
[14] Prof. Dr. Enizar, M.A., op.cit., 77

0 komentar:

Posting Komentar

Mauu komentar ? silahkan :D
Maaf jika ada penulisan kata yang kurang jelas hihi kadang suka typo
Jika ada kesalahan dalam postingan, silahkan kasih komentar dan saran yah hihi
Terimakasih banyak :)