BAB I
1. Latar
Belakang
Dalam kehidupan, seorang manusia pasti akan
mengalami sebuah musibah atau sebuah masalah yang mana masalah tersebut akan
menimbulkan sebuah kerugian atau risiko. Nah dalam hal ini ada yang namanya
asuransi, yang berfungsi sebagai solusi untuk mengatasi hal tersebut. Sebagai orang muslim disini kami akan
membahas mengenai akuntansi transaksi Asuransi yag Syariah tentunya. Sehingga
dengan adanya pembahasan ini maka kita akan tahu dan paham mengenai akuntansi
Asuransi. Akuntansi Asuransi yang akan kami bahas disini adalah yang digunakan
di lembaga keuangan syariah. Dalam akuntasi asuransi syariah ada beberapa
prinsip yang ada didalamnya yang harus diterpakan meliputi : saling bertanggung
jawab, saling bekerjasama, saling melindungi. Dan akuntnasi asuransi syariah
dan konvensional mempunyai perbedaan. Dan dengan ini kami akan mempersembahkan
sebuah makalah yang akan memaparkan hal-hal tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Asuransi Menurut Syariah
Dalam
bahasa Arab, Asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan
tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min. At-ta’min memiliki arti member perlindungan,
ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Men-ta’min-kan sesuatu,
artinya adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan untuk agar ia
atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati,
atau untuk mendapatkan ganti terhadap harta yang hilang, dikatakan ‘seseorang
mempertanggungkan atau mengasurasnsikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya’.[1]
Ada
tujuan dalam Islam yang menjadi kebutuhan mendasar, yaitu al-kifayah
‘kecukupan’ dan al-amnu ‘keamanan’. Sebagaimana firma Allah swt, “Dialaha Allah
yang mengamankan mereka dari ketakutan’’, sehingga sebagaian masyarakat menilai
bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk keamanan. Mereka menyebutnya dengan
al-amnu al-qidza i aman konsumnsi. Dari prinsip tersebut, Islam mengarahkan kepada
umatnya untuk mencari rasa aman baik untuk dirinya sendiri dimasa mendatang
maupun utnuk keluarganya sebgao nasihat Raul kepada Sa’ad bin Abi Waqqash agar
mensedekahkan sepertiga hartanya saja. Selebihnya ditinggalkan untuk
keluarganya agar mereka tidak menjadi bebean masyarakat. Asuransi merupakan
bisnis yang unik, yang didalamnya terdapat lima aspek yaitu aspek ekonomi, hokum,
social, bisnis, dan aspek matematika[2]. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau
Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah
orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah adalah
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.[3]
Menurut
Husain Hamid Hisan, mengatakan bahwa asuransi adalah sikap ta’awun yang telah
diatur dengan system yang sangat rapih, antara sejumlah besar manusia. Semuanya
telah siap mengantisipasi suatu peristiawa. Jika sebagian mereka mengalami
peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa
tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang diberikan oleh masing-masing
peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut, mereka dapat menutupi
kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa musibah.[4]
Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesi (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman
umum asuransi syariah, memberikan definisi tentang asuransi. Menurutnya,
Asuransi Syariah (Ta’min, Tafakul, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan
tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam
bentuk asset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.[5] Dari definisi di tersebut tampak bahwa
asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang disebut
dengan ta’awun. Yaitu prinsip hidup saling melindungi dan saling tolong
menolong atas dasar ukhuwal Islamiyah antara sesame anggota perserta Asuransi
Syariah dalam menghadapi malapetaka (risiko).
2.
Landasan Hukum Asuransi Syariah
Hukum-hukum
muamalah adalah bersifat terbuka artinya Allah SWT dalam Al-Quran hanya memberikan
aturan yang bersifat garis besarnya saja Selebihnya adalah terbuka bagi mujahit
untuk mengembangkan melalui pemikirannya selama tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan hadist . Al-Qur’an maupun
hadist tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun
bukan berarti bahwa asuransi hukumnya adalah haram karena ternyata dalam hokum
Islam memuat substansi perasuransian
secara Islami.[6]
Hakikat asuransi secara Islami adalah
saling bertanggung jawab, saling bekerjasama, saling tolong menolong, dan
saling melindungi penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi
diperbolehkan secara syaria’t, karena prinsip-prinsip dasar syariat mengajak
kepada setiap sesuatu yang berakibat kerataan jalinan sesama manusia dan kepada
sesuatu yang meringankan bencana mereka sebagaimana firman Allah Taala dalam
Al-Quran surah al-Maidah ayat 2 yang artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Allah
SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa melakukan persiapan untuk
menghadapi hari esok. Allah berfirman dalam surat al Hasyr ayat 18: Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan
bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan [al
Hasyr: 18] . Ayat ini dikaitkan oleh sebagian umat Islam dengan aktivitas
menabung atau berasuransi. Menabung adalah upaya mengumpulkan dana untuk
kepentingan mendesak atau kepentingan yang lebih besar di masa depan, sedangkan
asuransi adalah upaya berjaga-jaga jika suatu musibah datang menimpa, di mana
hal ini membutuhkan perencanaan dan kecermatan.[7]
Dari
segi hokum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan
legalitasnya pada UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang
sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak
mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata
lain, UU No. 2 Tahun 1992, tidak dapat dijadikan landasan hokum yang kuat bagi
asuransi syariah. Adapun peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan
pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu[8] :
a)
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003 tentang perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
b)
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi.
c)
Keputusan Direktur Jendral Lemabga
Keuangan Nomor Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan
Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan system Syariah.
3.
Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah
Prinsip
utama dalam asuransi syaraiah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa al-taqwa
(tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min (rasa
aman). Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau
asuransi tafakul ditegakan atas tiga prinsip utama, yaitu : [9]
a)
Saling bertanggung jawab,
Yang berarti para peserta asuransi
tafakul memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong
peserta lain yang mengalami musbiah atau kerugian dengan ikhlas.
b)
Saling bekerjasama atau saling membantu.
Yaitu berarti diantara peserta asuransi
tafakul yang satu dengan lainya saling bekerjasama dan saling tolong menolong
dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita.
c)
Saling melindungi penderitaan satu sama
lain.
Yaitu berarti bahwa para peserta
asuransi tafakul akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang
mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanya.
4.
Perbedaan Sistem Akuntansi Asuransi
Syariah dan Asuransi Konvensional
Konsep
akuntansi Islam dan akuntansi konvensional memiliki sifat dan karakteristik
yang berbeda. Sebab dasar-dasar akuntansi Islam adalah syariat Islam yang
diimplementasikan dikalangan masyarakat muslim, yang prosesnya ditangani oleh
para akuntan yang mengombinasikan kemampuan dan kecakapan dengan kejujuran
kerja. Berdasarkan pengertian, landasan syar’i dan prinsip-prinsip akuntansi
syariah serta keterangan-keterangan diatas, dapat kita simpulkan sifat-sifat
spesifik akuntansi syariah diantaranya sebagai berikut.[10] :
·
Kaidah-kaidah dasar akuntansi Islam
bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah nabawiyah serta fiqih para ulama
·
Akuntansi Islam dilandasi oleh kaidah
yang kuat, iman, serta pengakuan bahwa Allah itu adalah Tuhan, Islam adalah
agama, Muhammad adalah Rasul, dan juga percaya pada hari akhir.
·
Akuntansi Islam berlandaskan pada akhlak
yang baik. Karenanya, seorang akuntansi yang melaksanakan proses akuntansi
harus mampu mempunyai sifat amanah, jujur, netral, adil, dan professional.
·
Dalam Islam, seorang akuntan dianggap
bertanggung jawab di depan masyarakat dan umat Islam tentang berapa jauh
kesatuan ekonomi yang dipengaruhi oleh hokum syariat Islam, terutama yang
berkaitan dengan muamalah.
·
Berdasarkan keistimewaan-keistimewaan
yang bersifat kaidah dan akhlak, akuntansi dalam Islam juga berkaitan dengan
proses-proses keuangan yang sah.
·
Akuntansi dalam Islam sangat
memperhatikan aspek-aspek tingkah laku sebagai unsur dan juga berperan dalam
kesatuan ekonomi.
Dalam
system akuntansi syariah memiliki beberapa perbedaan system akuntansi dengan
akuntansi konvensional. Mohamed Arif bin Abdul Rashid, CEO PT. Syarikat Takaful
Indonesia, dalam Eccounting Concept In Takaful Busines menjelaskan
beberapa perbedaan tersebut sebagai berikut:[11]
a. Cash
Bases
Dalam praktik akuntansi konvensional, premi asuransi diakui sebagai
pendapatan, walaupun premi asuransi belum dibayarkan. Sedangkan dalam praktik
akuntansi takaful atau asuransi syariah, angsuran atau premi dan laba dari
investasi benar-benar diakui sebagai pendapatan jika perusahaan telah
menerimanya secara tunai. Praktik akuntansi ini memiliki arti yang penting yang
berkaitan dengan system bisnis yang berperinsip pada mudharabah dimana akad
mengikat antara peserta dengan perusahaan dalam kesepakatan bagi hasil.
b. Technical
Reserve
Cadangan teknis merupakan bagian dari premi asuransi yang belum
dihasilkan atau dikenal sebagai cadangan premi yang belum dihasilkan. Dalam
system akuntansi takaful, cadangan teknik dihitung dengan menggunakan metode
1/365. Premi akan diakui sebagai pendapatan serta ditentukan menurut jumlah
hari yang sebenarnya selama periode akuntansi dan masa perjanjian/kontrak
Tafakul. Premi yang tidak digunakan selama masa perjanjian dianggap
cadangan.
c. Beban
Retakaful
Dalam praktik asuransi konvensional beban reasuransi selama masa
perjanjian, diakui sebagai asuransi awal yang dikover. Praktik akutansi ini
sesuai dengan standar yang diterima, yaitu perbandingan pendapatan dengan beban
yang terjadi pada periode berjalan. Dalam system akuntansi Takaful, beban
retakaful selama masa perjanjian diakui sebagai utang sampai angsuran atau
premi Takaful dibayar oleh peserta. Akan tetapi, beban retakaful ini akan
diakui sebagai pendapatan juika seluruh premi dibayar lebih awal oleh peserta.
d. Surplus
(Pada Asuransi Jiwa)
Dalam asuransi konvensional, surplus dari investasi ditrasfer ke pemegang
saham sebagai pendapatan. Tetapi, di Takaful keluarga (jiwa), perusahaan tidak
berhak mengakui surplus ini sebagai pendapatan. Pada Takaful keluarga hanya
laba dari dana investasi dibagikan antara peserta dan perusahaan sesuai yang
diperjanjikan (misalnya 70:30 atau 60:40). Setelah dikurangi bagian keuntungan
bagi perusahaan, sisa dari keuntungan ini merupakan pendapatan bagi peserta
Takaful yang dikreditan kerening peserta.
e.
Surplus (Pada Asuransi Kerugian)
Laba dari Takaful Umum (kerugian) dibagikan berdasarkan rasio pembagian
keuntungan yang telah disepakati antara perusahaan dan peserta Takaful.
Keuntungan dibayarkan jika peserta tafakul masih terikat perjanjian atau
kontrak. Aspek teknis akuntansi, asuransi Tafakul menggambarkan nilai tambah
atau keuntungan yang diungkapkan secara adil dan transparan. Sehingga, baik
perusahaan maupun peserta asuransi tafakul tidak merasa dirugikan.[12]
Keuntungan lain yang bersifat jangka panjang bahwa adanya nilai kebersamaan,
tolong-menolong, dan saling menaggung jika di antara peserta terjadi klaim
kerugian. Inilah sisi kemungkinan yang didapatkan dari asuransi Takaful. Secara
ringkas perbedaan antara akuntansi asuransi konvensial dengan akuntansi
asuransi syariah dapat dilihat pada tabel berikut:
No.
|
Akuntansi Asuransi Konvensional
|
Akuntansi Asuransi Syariah
|
1.
|
Premi Asuransi diakui sebagai pendapatan meskipun
premi asuransi belum dibayarkan
|
Premi Asuransi benar-benar diakui sebagai
pendapatan jika diterima secara tunai.
|
2.
|
Beban retakul selama perjanjian diakui sebagai
asuransi awal yang dikover.
|
Beban retakaful diakui sebagai utang sampai
angsuran atau premi takaful dibayarkan. Dan beban retakaful diakui sebagai
pendapatan jika dibayar lebih awal.
|
3.
|
Dana asuransi yang terhimpun dikelola untuk
kepentingan bisnis perusahaan dengan keuntungan yang dinikmati oleh
perusahaan dan pemegang saham.
|
Dana asuransi tafakul yang terhimpun dikelola
dengan konsep mudharabah
|
4.
|
Laba atau surplus investasi ditrasfer ke pemegang
saham.
|
Laba investasi dari dana Takaful keluarga yang
terhimpun dibagikan kepada peserta takaful keluarga dan perusahaan tidak
berhak mengakui surplus ini sebagai pendapatan.
|
5.
|
Keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan
asuransi merupakan laba perusahaan
|
Ada pembagian keuntungan/berdasarkan rasio yang
disepakati dalam perjanjian
|
Konsep Akuntansi Asuransi Syariah yang diuraikan di atas adalah konsep
akuntansi yang menggunakan akad mudharabah sebagaimana yang diterapkan di
Syarikat Takaful Berhad Malaysia dan juga diterapkan di PT Asuransi Takaful
keluarga Indonesia. Selain ini ada juga model akuntansi asuransi syariah yang
menggunakan akad wakalah dan konsep ini diakui berdasarkan Standar Accounting
and Auditing Organizing for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Kedua
konsep ini menurut saya, menganut kebenaran yang pertama menggunakan akad
mudharabah mewakili ‘mazhab Malaysia’ (Cash Bases), sedangkan yang kedua akad
wakalah mewakili ‘Mazhab Bahrian’ (Accrual Bases).[13]
5.
Implementasi Akuntansi Islam pada
Asuransi Syariah
a. Akuntansi
syariah dengan akad mudharabah.
Dalam
akad ini terdapat pemisahan pengelolaan dana antara dana pemegang saham(DPS)
dengan dana peserta asuransi (DPA). Perusahaan bertindak sebagai pemegang
amanah untuk mengelola kontribusi yang diterima dari peserta yang digunakan
apabila di antara para peserta terjadi musibah. Di lain pihak ,peserta menyetujui
Bahwa dana ynag disetor akan dikelola secara professional oleh operator. Jika
pada akhir periode, peserta yang tidak mendapatkan musibah akan memperoleh bagi
hasil. Dengan demikian, dalam akad ini dana yang disetorkan partisipan
merupakan milik peserta, dan tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan
pemegang saham. Konsikuensinya, system akuntansi yang diterapkan harus
dipisahkan antara akuntansi Dana Pemegang Saham (DPS) dengan akuntansi Dana
Peserta Asuransi (DPA).[14]
b. Akuntansi
syariah dengan akad wakalah.
Dalam
akad ini tidak terdapat pemisahan penegelolaan dana antara pemegang saham
dengan dana peserta asuransi. Perusahaan menerima dana tabarru’ dari peserta
dan berhak digunakan untuk seluruh kegiatan perysahaan. Dana yang berasal dari
pemegang saham dengan dana peserta dicampurkan. Sehingga, konsekuensinya,
akuntansi tidak harus dipisahkan antara akuntansi dana pemegang saham dengan
akuntansi dana peserta asuransi.[15]
6.
Cash Basis dan Accrual Basis
Persoalan
kontroversi yang dalam system akuntansi syariah yang sampai saat ini masih
belum selesai adalah persoalan pengakuan pendapatan, penganut cash basis dan
akrual basis. Yang dimaksud dengan cash basis di sisni adalah pendapatan premi
diakui saat polis ibayar tunai, dan biaya tetap dicatat secara accrual.
Sedangkan
,accrual bases adalah pendapatan premi sudah diakui pada saat penerbitan polis,
dan biaya tetap dicatat secara accrual. Penganut cash basis berpendapat,
sebagai konsekuensi aplikasi akad mudharabah, maka secara syar’I pengakuan
pendapatan harus dilakukan secara cash bases, artinya pendapatan premi diakui
saat polis telah dilakukan pembayaran tunai kepada perusahaan. Dan ini sangat
relevan dengan penerapan bagi hasil, karena perhitungan bagi hasil diberikan
dengan mengacu kepada perhitungan mulai sejak polis asuransi dibayarkan.
Di
lain pihak, penganut accrual basis tetap berpendapat bahwa prinsip yang dianut
tidak melanggar aturan syar’I, baik cash maupun accrual memenuhi ketentuan
syariah. Berdasarkan system akuntansi konvensional, premi asuransi diakui
sebagai pendapatan sebagaimana tanggal penerbitan polis . Dalam asuransi,
perbedaan yang paling mendasar antara akuntansi asuransi syariah dengan
akuntansi asuransi konvensional adalah penggunaan cash basis atau accrual
basis.
Pada
akuntansi asuransi syariah lebih cendrung menggunakan cash basis daripada
acrual basis,dengan pertimbangan-pertimbangan syar’i. system accrual bases
dianggap bertentangan dengan syariah karena telah mengakui adanya pendapatan,
harta, beban, tau utang yang akan terjadi di masa yangbkana datang. Padahal yang
akan terjadi tersebut, belum benar-benar terjadi, bisa terjadi dan bisa tidak
terjadi. Apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang hanya Allah yang
mengetahui.
Mohammad
Arif Abdul Rasyid mengatakan bahwa berdasarkan praktik akunting takaful, semua
angsuran takaful juga keuntungan atas investasi dan pendapatan dianggap sebagai
pendapatan hanya setelah kas actual sudah diterima perusahaan.Sebagai contoh,premi asuransi
benar-benar diakui sebagai pendapatan jika uangnya sudah diterima secara tunai.
Sedangkan,pada asuransi konvensional premi asuransi diakui sebagai pendapatan
meskipun premi asuransi belum dibayarkan. Pada sisi llain dalam pengakuan
sebagai pendapatan, surplus dari dana investasi hanya dapat diakui sebagai
pendapatan setelah terjadi bagi hasil antara peserta dan perusahaan. Hal ini
tentu berbeda dengan asuransi konvensional di mana surplus dari investasi dapat
langsung ditransfer ke rekening pemegang
saham sebagai pendapatan.
Konsep
akuntansi yang diterapkan pada asuransi konvensional adalah accrual bases yaitu
suatu proses akuntansi untuk mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan non
kas. Accrual basis mengakui pendapatan dan adanya peningkatan yang terkait
dengan asset dan beban serta adanya peningkatan yang terkait dengan utang dalam
jumlah tertentu yang kan diterima atau dibayar dalam bentuk kas di masa yang
akan datang.
Sistem Akuntansi di
Indonesia saat ini masih tetap mengacu kepada PSAK No. 28 yang berlaku, dimana
pengakuan pendapatan harus dicatat secara accrual. Demikian juga dengan Majelis
Ulama Indonesia, telah mengeluarkan fatwa tentang accrual bases maupun cash
bases melalui fatwa DSN-MUI[16] :
a. Pada
dasarnya. LKS boleh mengunakan system Accrual Bases maupun Cash Bases dalam
administrasi keuangan
b. Dilihar
dari segi kemaslaharan, dalam pencatatan sebaiknya digunakan system Accrual
Bases. Tetapi dalam distribusi hasil Usaha hendaknya ditentukan atas dasar
penerimaan yang benar-benar terjadi ( Cash Bases).
c. Penetapan
system yang dipilih harus disepakati dalam akad.
BAB III
KESIMPULAN
Asuransi
Syariah adalah sebuah gabungan
kesepakatan untuk saling tolong menolong, yang telah diatur dengan system yang
telah ditentukan antara sejumlah orang, yang bertujuan untuk menghilangkan atau
menringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa dari
sebagian orang tersbut. Landasan Asuransi syari’ah dalam Al-Quran tidak
dijumpai namun, asa sejumlah kata dengan Takaful, seperti dalam surah Thahaa
ayat 20, Al-Maaidah ayat 2. Perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional
memiliki perbedaan yang mendasar dalam beberapa hal antara lain : keberadaan
DPS dalam perushaan asuransi, Prinsip akad asuransi syariah adalah takaful,
dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah diinvestasikan
berdasarkan syariah, premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik
nasabah, keuntungan invests dibagi dua.
[1] Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), Jakarta: Gema Insani, 2004
hal. 28
[2] Herman Darmadi, Manajeman Asuransi 2000, Bumi Aksara,
Jakarta h. 2
[3]
http://www.takafulumum.co.id/index.php/in/berita-terkini/65-definisi-asuransi-syariah-a-konvensional
[4] Op. cit., h. 29.
[5] Op. cit., h. 30.
[6] Dewi Gemala, Aspek Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 141.
[7] http://sitisarahadi.wordpress.com/2013/06/22/tugas-makalah-akuntansi-asuransi-syariah/
[8]
Op. cit., h. 142.
[9]
Op. cit., h. 146.
[10] Muhammad, Op. cit., h.394
[11] Muhammad, Op. cit., h.397
[12] Sofyan Syafri harahap, PhD.
Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Standar Akuntansi Asuransi Islam. (Jakarta
: Pustaka, 2001), h. 275
[13] Muhammad, Op. cit., h 400.
[14] Muhammad, Op. cit., h 410.
[15] Muhammad, Op. cit., h 413.
[16] Fatwa Dewan Syariah Nasional
No:14/DSN-MUI/IX/2000, Tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga
Keuangan Syariah.
0 komentar:
Posting Komentar
Mauu komentar ? silahkan :D
Maaf jika ada penulisan kata yang kurang jelas hihi kadang suka typo
Jika ada kesalahan dalam postingan, silahkan kasih komentar dan saran yah hihi
Terimakasih banyak :)