BAB 1
PENDAHLUAN
1.
Latar Belakang
Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan
muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak
saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi
yang sistimatis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah,
bahkan Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan
buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti,
Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan
Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M),
Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh
Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H).
Permasalahan dari
beberapa tokoh pemikir muslim di atas, yang akan kami paparkan dalam makalah
ini adalah Al Ghazali, Ibnu Taimiyyah dan Nizamul mulk. Kami mulai dari
biografi singkat sampai pemikiran-pemikiran ekonomi.
2.
Masalah
1.
Bagaminana asal usul pemikiran ekonomi islam
2.
Sebutkan tokoh
pemikir ekonomi islam
3.
Seperti apa pemikiran tokoh ekonomi islam tersebut
3.
Tujuan
1.
Mengetahui asal usul pemikiran ekonomi islam
2.
Mampu menyebutkan para cendikiawan ekonomi islam
3.
Mengetahui pemikiran para tokoh ekonomi islam
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan
Pemikiran Ekonomi Islam Pemikiran
Ekonomi Islam diawali sejak Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rosul.
Rosululoh SAW mengeluarkan sejumlah kebijkan yang menyangkut berbagai hal yang
berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqih),
politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah).
Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rosululloh SAW, karena masalah
ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan.
Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rosululloh SAW menjadikan pedoman oleh para
Khalifah sebagai penggantinyadalam memutuskan masalah-masalah ekonomi.
Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para
khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi
negara. Perkembangan pemikiran-pemikiran pada masa-masa tersebut adalah sebagai
berikut[1]
:
1.
Perekonomian di Masa Rosululloh SAW (571-632 M)
Rosululloh diberi amanat untuk mengemban
dakwah Islam pada umur 40 tahun. Pada masa Rosululloh SAW, tidak ada tentara
formal. Semua muslim yang mampu boleh jadi tentara. Mereka tidak mendapatkan
gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari harta rampasan
perang. Rampasan tersebut meliputi senjata, kuda, unta, domba, dan
barang-barang bergerak lainnya yang didapatkan dari perang. Situasi berubah
setealah turunnya Surat Al-Anfal (8) ayat 41 : “Ketahuilah sesungguhnya apa
saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Alloh, Rosul, Kerabat Rosul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Alloh dan kepada yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)di hari furqaan, yaitu di hari bertemunya
dua pasukan. Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Rosululloh SAW biasanya membagi
seperlima (khums) dari rampasan perang tersebut menjadi tiga bagian, bagian
pertama untuk beliau dan keluarganya, bagian kedua untuk kerbatnya dan bagian
ketiga untuk anak yatim piatu, orang yang sedang membutuhkan dan orang yang
sedang dalam perjalanan. Empat perlima bagian yang lain dibagi diantara
prajurit yang ikut perang, dalam kasus tertentu beberapa orang yang tidak ikut
serta dalam perang juga mendapat bagian. Penunggang kuda mendapat dua bagian,
untuk dirinya sendiri dan kudanya.
Pada masa Rosululloh SAW, beliau mengadopsi praktik yang lebih manusiawi
terhadap tanah pertanian yang telah ditaklukkan sebagai fay’ atau tanah
dengan kepemilikan umum. Tanah-tanah ini dibiarkan dimiliki oleh pemilikinya
dan penanamnya, sangat berbeda dari praktik kekaisaran Romawi dan Persia yang
memisah-misahkan tanah ini dari pemiliknya dan membagikannya kepada elit
militernya dan para prajurit. Semua tanah yang dihadiahkan kepada Rosululloh
SAW (iqta’) relatif lebih kecil jumlahnya dan terdiri dari tanah-tanah
yang tidak bertuan. Kebijakan ini tidak hanya mambantu mempertahankan
kesinambungan kehidupan administrasi dan ekonomi tanah-tanah yang dikuasai,
melainkan juga mendorong keadilan antar generasi dan mewujudkan sikap egaliter.[2]
Pada tahun kedua setelah hijrah,
shodaqoh ini kemudian dengan Zakat Fitrah yang dibayarkan setiap kali setahun
sekali pada bulan ramadhan. Besarya satu sha kurma, gandum, tepung keju, atau
kisimis, setengah sha gandum untuk setiap muslim, budak atau orang bebas,
laki-laki atau perempuan, muda atau tua dan dibayar sebelum Shalat Idul Fitri.
Zakat diwajibkan pada tahun ke-9
hijrah, sementara shodaqoh fitrah pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi
ahli hadist memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijrah ketika
Maulana Abdul hasa berkata zakat diwajibkan setelah hijrah dan kurun waktu lima
tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada
peraturan khusus atau ketentuan hukum.
2.
Perekonomian Di Masa Khulafaurrasyidin
a)
Abu Bakar As-Sidiq (51 SH – 13 H / 537 – 634 M)
Sebelum menjadi khalifah Abu Bakar
tinggal di pinggiran kota Madinah. Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah
dan bersamaan dengan itu sebuah Baitul Mal dibangun. Sejak menjadi khalifah,
kebutuhan keluarganya diurus oleh kekayaan dari Baitul Mal ini. Menurut
beberapa keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga
perempat dirham setiap harinya dari Baitul Mal dengan beberapa waktu. Ternyata
tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham
dan menurut keterangan 6000 dirham per tahun.
Khalifah Abu Bakar sangat
memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Beliau juga mengambil
langkah-langkah yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam
termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan
sepeninggal Rosululloh SAW.
b)
Umar bin Khattab (40SH – 23H / 584 – 644 M)
Khalifah Umar sangat memperhatikan
sektor ekonomi untuk menunjang perekonomian negerinya. Pada masa kekhalifahan
Umar banyak dibangun saluran irigasi, waduk, tangki kanal, dan pintu air seba
guna untuk mendistribusikan air di ladang pertanian
Hukum perdagangan juga mengalami
penyempurnaan untuk menciptakan perekonomi secara sehat. Umar mengurangi beban
pajak untuk beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma Syiria sebesar
50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota. Pada saat
yang sama juga dibangun pasar agar tercipta peradangan dengan persaingan yang
bebas. Serta adanya pengawasan terhadap penekanan harga. Beliau juga sangat
tegas dalm menangani masalah zakat. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam
rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Umar menetapkan zakat atas harta
dan bagi yang membangkang didenda sebesar 50% dari kekayaannya.
Pada masa beliau dibangun Institusi
Administrasi dan Baitul Mal yang reguler dan permanen di Ibu Kota, yang
kemudian berkembang dan didirikan pula Baitul Mal cabang di ibu kota propinsi.
Baitul Mal secara tidak langsung berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal
negara Islam. Harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan
bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiaya
penguburan orang-orang miskin, membayarkan utang orang-orang yang bangkrut,
membayar uang diyat, untuk kasu-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa
bunga untuk tujuan komersial. Bersamaan dengan reorganisasi Baitul Mal, Umar
mendirikan Diwan Islam yang disebut Al-Divan. Al- Divan adalah kantor yang
mengurusi pembayaran tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta
tujangan lainnya secara reguler dan tepat. Khalifah Umar juga membentuk komite
yang terdiri dari Nassab ternama untuk membuat lapran sensus penduduk
Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.[3]
Khalifah Umar menetapkan beberapa
peraturan sebagai berikut:
·
Wilayah
Irak yang ditaklukan menjadi muslim, sedangkan bagian yang berada dibawah
perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikannya
tersebut dapat dalihkan
·
Kharaj
(pajak yang dibayarkan oleh
pemilik-pemilik tanah negara taklukan), dibebankan pada semua tanah yang
termasuk kategori pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk Islam
dengan demikian tanah seperti itu tidak daat dikonversi menjadi tanah ushr
·
Bekas
pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka memberi kharaj dan
jizyah (pajak yang dikenakan bagi penduduk non muslim sebagai jaminan
perlindungan oleh negara)
·
Sisa
tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim
kembali bila ditanami oleh muslim diperlakukan sebagai tanah ushr.
·
Di
Sawad, kharaj dibebankan sebesar saaau dirham atau satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan ngapan
tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah
(rempah atau cengkih) dan perkebunan,
·
Di
Mesir, menurut sebuah perjanjian Amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga
irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, dan madu dan
rancangan ini telah disetujui Khalifah
·
Perjanjian
Damaskus ( Syiria ) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan muslim.
Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban satu jarib ( unit berat )
yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.
c)
Ustman bin Affan ( 47 SH – 35H / 577 – 656 M )
Khalifah Ustman mengikuti kebijakan
yang ditetapkan oleh Umar. Pada enam tahun pertama Balkh, Kabul, Ghazni Kerman,
dan Sistan ditaklukan. Kemudian tindakan efektif dilakukan untuk pengembangan
sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon ditanam untuk
diambil buah dan hasilnya dan kebijakan di bidang keamanan perdagangan
dilaksanakan dengan pembentukan organisasi kepolisian tetap.[4]
Usman mengurangi jumlah zakat dari
pensiun. Tabri menyebutkan ketika khalifah Ustman menaikkan pensiun sebesar
seratus dirham, tetapi tidak ada rinciannya.Beliau menambahkan santunan dengan
pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid
untuk orang-orang miskin dan musafir.
Pada masa Ustman, sumber pendapatan
pemerintah berasal dari zakat, ushr, kharaj, fay, dan ghanimah.
Zakat ditetapkan 2,5 persen dari modal aset. Ushr ditetapkan 10 persen iuran
tanah-tanah pertanian sebagaiman barang-barang dagangan yang diimpor dari luar
negeri. Kharaj merupakan iuran pajak pada daerah-daerah yagn ditaklukan.
Prosentase dari kharaj lebih tinggi dari ushr. Ghanimah yang didapatkan dibagi
4/5 kepada para prajurit yang ikut andil dalam perang sedangkan 1/5-nya
disimpan sebagai kas negara.
d)
Ali bin Abi
Thalib ( 23H – 40H / 600 – 661 M )
Pada masa pemerintahan Ali, beliau
mendistribusikan seluruh pendapatan provinsi yang ada di Baitul Mal Madinah ,
Busra, dan Kuffah. Ali ingin mendistribusikan sawad, namun ia menahan
diri untuk menghindari terjadi perselisihan.
Secara umum, banyak kebijakan dari
khalifah Ustman yang masih diterapkan, seperti alokasi penegeluaran yang tetap
sama. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambahkan jumlahnya pada masa
Ustman hampir dihilangkan seluruhnya.
Khalifah Ali mempunyai konsep yang
jelas mengenai pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang
berkaitan dengannnya seperti mendiskripsikan tugas dan kewajiban dan tanggung
jawab penguasa, menyusun dispensasi terhadap keadilan, kontrol atas pejabat
tinggi dan staf, menjelaskan kebaikan dan kekurangan jaksa, hakim dan abdi
hukum, menguraikan pendapatan pegawai administratif dan pengadaan bendahara.
3.
Perkembangan Ekonomi Pasca Khulafaurrasyidin
a) Pendapatan
Pemerintah
Pendapatan pada masa pasca
khulafaurrasyidun masih menggunakan sistem perpajakan yang dikenal dengan kharaj.
Pajak ini ditetapkan atas tanah pertanian yang dibayar dalam bentuk uang. Besar
kecilnya ditentukan oleh kesuburan dan luas lahan. Jizyah tidak dipandang
lagi sebagai sumber pendapatan. Kemudian pajak ini dikenal dengan al-jawali.
Ketika pendapatan jizyah menurun, timbul berbagai macam pajak baru.
Pajak ini dikenal dengan pajak hilali, karen ditarik setiap tanggal baru
(hilal) kalender hijriyah. Pajak lainnya adalah al-mufariq yang
dikenakan terhadap terhadap barang ekspor dan impor melalui pentai.
Pendapatan negara tidak dikumpulkan
di Baitul Mal sebagaimana pada masa khulafaurrasyidin. Setiap pendapatan
dikhususkan untuk biaya suatu kegiatan tertentu. Kemudian sisa pendapatan
barulah dikumpulkan di kas negara sebagai dan cadangan.Pengaitan antara
pendapatan dan pengeluaran dalan bentuk neraca. Neraca ini diperhitungkan
setiap tahun berdaarkan tahun masehi, karena kharaj (sumber terbesar
waktu itu) dipungut berdasarkan tahun masehi. Sejak abad kedua hijrah muncul diwan
yang mirip dengan jasa akuntansi dewasa ini. Diwan bertugas meneliti pendapata,
mengatur pengeluaran, dan mengkaitkan pendapatan dan pengeluaran.
b)
Mata Uang
Pada masa permulaannya Muslim
menggunakan emas dan perak dengan beratnya. Dinar dan dirham yang mereka
gunakan adalah mata uang kekaisaran Persia. Mata uang Islam dibuat pada masa
Khalifah Abdullah Malik bin Marwan. Saat itu beliau memerintahkan untuk
pembuatan dirham yang dicap dengan kata-kata “ Allah adalah Satu, Allah adalah
Abadi “. Beliau memerintahkan untuk membuang semua gambar-gambar manusia
(raja/pahlawan) atau binatang dan menggantikan dengan tulisan / bacaan seperti
tahlil, tahmid, dan sebagainya.
4.
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Pasca
Khulafaurrasyidin
Perkembangan pemikiran ekonomi pasca
Rosululloh SAW dan khulafaurrasyidin dibagi menjadi 3 periode yang didasarkan
atas nama tokoh ekonomi Islam tersebut hidup.
i.
Ekonomi
Islam periode awal Islam sampai 1058 M
Tokohnya antara lain : Zaid bin
Ali (738), Abu Hanifa (798), Ibnu Farabi (950), Ibnu Sina (1037), dll.
ii.
Ekonomi
Islam periode kedua (1058-1446M)
Tokohnya antara lain : Al-Ghazali (1111), Ibnu Taimiyah (1328), Ibnu Khaldun (1040), Ibnu Rusyd (1198), dll
Tokohnya antara lain : Al-Ghazali (1111), Ibnu Taimiyah (1328), Ibnu Khaldun (1040), Ibnu Rusyd (1198), dll
iii.
Ekonomi
Islam periode ketiga (1446-1931 M)
Tokohya antara lain : Jamaluddin Al-Afghani (1897), Muhammad Iqbal (1938), Syekh Ahmaad Sirhindi (1524), dll[5]
Tokohya antara lain : Jamaluddin Al-Afghani (1897), Muhammad Iqbal (1938), Syekh Ahmaad Sirhindi (1524), dll[5]
5.
Tokoh pemikiran-pemikiran ekonomi
Berikut adalah beberapa kontribusi pemikiran Ekonom-ekonom Islam diatas, terutama untuk periode awal yang menjadi tonggak ekonomi Islam, dan periode tengah yang merupakan periode puncak pemikiran ekonomi :
Berikut adalah beberapa kontribusi pemikiran Ekonom-ekonom Islam diatas, terutama untuk periode awal yang menjadi tonggak ekonomi Islam, dan periode tengah yang merupakan periode puncak pemikiran ekonomi :
1) Zayd bin Ali (699 – 738)
Salah satu ahli fiqih yang terkenal
di Madinah. Zaid bin Ali memperbolehkan penjualan suatu komiditi secara kredit
dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai. Beliau tidak memperbolehkan
harga yang ditangguhkan pembayannya lebih tinggi dari pembayaran tunai,
sebagaimana halnya penambahan pembayaran dalam penundaan pengembalian pinjaman.
Setiap penambahan terhadap penundaan pembayaran adalah riba
Prinsipnya jenis transakai barang
atau jasa yang halal kalau didasarkan atas suka sama suka diperbolehkan.
Sebagaiman firman Alloh dalam surat An-Nisaa’( 4) ayat 29 :” Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka dia
ntara kamu “.
2)
Abu
Hanifa (80-150 H /699 –767 M)
Abu Hanifa menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, saah satnya adalah salam ,yaitu suatu bentuk transaksi diman antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu Hanifa mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderug mengarah pada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dahulu, dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci kontrak, seperti jenis komoditi, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan pengiriman.
Abu Hanifa menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, saah satnya adalah salam ,yaitu suatu bentuk transaksi diman antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu Hanifa mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderug mengarah pada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dahulu, dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci kontrak, seperti jenis komoditi, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan pengiriman.
Salah satu kebijakan Abu Hanifah
adalah menghilagkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi, hal
ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungan dengan jual beli.
Abu Hanifah sangat memperhatikan
pada orang-orang lemah. Beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil panen
(muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tananh tidak
menghasilkan apapun. Hal ini untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang
lemah.
3)
Abu
Yusuf (113 – 182H/731 – 798M)
Abu Yusuf terkenal sebagai Qadi ( hakim ). Diantara kitab-kitab Abu Yusuf yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance dalam pengertian ekonomi modern.
Menurut Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam menjelaskan prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya yaitu produsen dan konsumen. Jika karena suatu hal selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang itdak wajar dari produsen terjadi karena kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penetuan harga sepenuhnya harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi.
Abu Yusuf terkenal sebagai Qadi ( hakim ). Diantara kitab-kitab Abu Yusuf yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance dalam pengertian ekonomi modern.
Menurut Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam menjelaskan prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya yaitu produsen dan konsumen. Jika karena suatu hal selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang itdak wajar dari produsen terjadi karena kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penetuan harga sepenuhnya harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi.
Selain Al-Kharaj, beliau menulis
Al-Jawami, buku yang sngaja ditulis untuk Yahya bin Khalid, selain itu juga
menyusun Usul Fiqh Hanafiah ( data-data fatwa hukum yang disepakati Imam
Hanafiah bersama murid-muridnya )
4)
Al-Ghazali
(450 – 505H/ 1058 –1111M)
Al-Ghazali lahir 1058M di kota kecil Khorasan bernama Toos. Bagi Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”, secara rinci beliau juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar.
Al-Ghazali lahir 1058M di kota kecil Khorasan bernama Toos. Bagi Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”, secara rinci beliau juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar.
Al-Ghazali juga mengatakan bahwa
kebutuhan hidup manusia terdiri dari 3, yaitu kebutuhan dasar (darruriyah),
kebutuhan sekunder (hajiat), dan kebutuhan mewah (takhsiniyyat). Teori hierarki
kebutuhan ini kemudian “diambil” oleh William Nassau Senior yang menyatkan
bahwa kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder
(decency), dan kebutuhan tersier (luxury). Beliau juga menyatakan tentang
tujuan utama dan penerapan syariah adalah masalah religi atau agama, kehidupan,
pemikiran, keturunan, dan harta kekayaan yang bersangkutan dengan masalah
ekonomi.
Beliau juga memperkenalkan mengenai peranan uang dalam ekonomi (ditulis dalam kitab Ihya’ Ulum Din). Menurut beliau , manusia memerlukan uang sebagai alat perantara / pertukaran (medium exchange) untuk membeli barang. Fungsi ini kemudian dijabarkan kembali oleh Ibnu Taimiyah dengan menambahkan 1 funsi tambahan, yakni bahwa uang juga berfungsi sebagai alat untuk menetukan nilai (measurement of value )
Beliau juga memperkenalkan mengenai peranan uang dalam ekonomi (ditulis dalam kitab Ihya’ Ulum Din). Menurut beliau , manusia memerlukan uang sebagai alat perantara / pertukaran (medium exchange) untuk membeli barang. Fungsi ini kemudian dijabarkan kembali oleh Ibnu Taimiyah dengan menambahkan 1 funsi tambahan, yakni bahwa uang juga berfungsi sebagai alat untuk menetukan nilai (measurement of value )
Karya yang ditulisnya antara lain
yang cukup monumental : Alajwibah Al-Ghazaliyah fi Al-Masa’il Al-Ukhrawiyah,
Ihya’ Ulum Din, Al-Adab fi Al-Dina, dan lain sebagainya.
5)
Ibnu
Rusyd (1198)
Dikenal sebagai Aveorrus di Barat.
Beliau adalah seorang pemikir Islam yang banyak mempengaruhi pemikiran
pemikir-pemikir dunia terutama Barat. Beliau menghasilkan sebuah karya yang
mengungkapkan sebuah teori dengan memperkenalkan fungsi keempat dari uang (
Roger E Backhouse,2002, “The Pinguin History of Economic” ). Sebelumnya
filsuf Yunani, Aristoteles menyebutkan bahwa fungsi uang ada 3, yaitu sebagai
alat tukar, alat mengukur nilai dan sebagai cadangan untuk konsumsi di masa
depan. Ibnu Rusyd menambahkan fungsi keempat dari uang, yakni sebagi alat
simpanan daya beli dari konsumen, yang menekankan bahwa uang dapat digunakan
kapan saja oleh konsumen untuk membeli keperluan hidupnya.
Ibnu Rusyd juga membantah
Aristoteles tentang teori nilai uang dimana nilainya tidak boleh berubah-ubah.
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa uang tiu tidak boleh berubah-ubah karena 2 alasa,
yakni pertama uang berfungsi sebagai alat untuk mengukuir nilai, maka seperti
Allah SWT Yang Maha Pengukur, Allah Tidak Berubah-Ubah, maka uangpun sebagai
pengukur keadaan tidak boleh berubah. Kedua uang berfungsi sebagai cadangan
untuk konsumsi masa depan, maka perubahan padanya sangatlah tidak adil. Dari
kedua alasan tersebut maka sesungguhnya nilai nominal uang itu harus sama
dengan nilai intrinsiknya.
6)
Ibnu
Taimiyah ( 661 – 728H / 1263 –1328M)
Menurut Ibnu Taimiyah naik turunnya
harga bukan saja dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tetapi ada
faktor-faktor yang lain :
“Sebab naik turunnya harga di
pasar bukan hanya karena adanya ketidakadilan yang disebabkan orang atau pihak
tertentu, tetapi juga karena panjang singkatnya masa produksi (khalq) suatu
komoditi. Jika produksi naik dan permintaan turun, maka harga di pasar akan
naik, sebaliknya jika produksi turun dan permintaan naik, maka harga di pasar
akan turun”.
Teori dikenal dengan “price
volality” atau turun naiknya harga di pasar. Teori ini jika dikaji lebih
mendalam adalah menyangkut hukum permintaan dan penawaran (supply dan demand)
di pasar, yang kini justru secara ironi diakui sebagi teori yang bersal dari Barat.
Lebih jauh beliau juga memberikan penjelasan mengenai Hak Atas Kepemilikan Intelektual (HAKI) atau paten. Menurut beliau kepemilikan (property) adalah suatu kekuatan yang diberikan oleh syariah untuk memakai sebuah objek dan kekuatan itu beragam dalam macam dan kadarnya. Seorang dapat membuang / tidak memanfaatkan miliknya selama tidak bertentangan dengan syariah. Beliau membagi subjek kepemilikan menjadi 3; individu, masyarakat dan negara. Kepemilikan individu diakui dan didapatkan dari membuka dan memanfaatkan tanah, wari, membeli dan kepemilikan individu individu tidak boleh bertentang dengan kepemilikan individu tidak boleh bertentang dengan kepemilikan masyarakat dan negara . Tujuan yangyang paling utama dari kepemilikan adalah kegunaannya pada orang lain.
Lebih jauh beliau juga memberikan penjelasan mengenai Hak Atas Kepemilikan Intelektual (HAKI) atau paten. Menurut beliau kepemilikan (property) adalah suatu kekuatan yang diberikan oleh syariah untuk memakai sebuah objek dan kekuatan itu beragam dalam macam dan kadarnya. Seorang dapat membuang / tidak memanfaatkan miliknya selama tidak bertentangan dengan syariah. Beliau membagi subjek kepemilikan menjadi 3; individu, masyarakat dan negara. Kepemilikan individu diakui dan didapatkan dari membuka dan memanfaatkan tanah, wari, membeli dan kepemilikan individu individu tidak boleh bertentang dengan kepemilikan individu tidak boleh bertentang dengan kepemilikan masyarakat dan negara . Tujuan yangyang paling utama dari kepemilikan adalah kegunaannya pada orang lain.
7)
Ibnu
Khaldun (732 – 807H / 1332 – 1383M)
Ibnu Khaldun mempunyai nama sebenarnya yakni Wali Al-Din Abd Al-Rahman bin Muhammad bin Abu Bakar Muhammad bin Al-Hasan, lahir di Tunisia, 1 Ramadhan 732 H, berasal dari keluarga Arab Hadramaut. Beliau banyak dipuji oleh Barat karena buah fikirannya yang banyak berpengaruh bagi Barat dan memberi pencerahan bagi dunia ekonomi, bahkan bisa dibilang beliau adalah Bapak Ekonomi Dunia ( untuk lebih jelas baca artikel : Ibn Khaldun Bapak Ekonomi ).
Sumbangan terbesar dalam bidang Ekonomi banyak dimuat dalam karya besarnya, Al-Muqadimmah. Beberapa prinsip dan falsafah ekonomi telah difikirkannya, seperti keadilan (al-adl), hardworking, kerjasama (cooperation), kesederhanaan (moderation), dan fairness. Ibnu Khaldun menekankan bahwa keadilan adalah tulang punggung dan asas kekuatan sebuah ekonomi. Dalam karyanya tersebut, disebutkan mengenai “rasa kebersamaan” yang akan terbentuk dan menguat jika ada keadilan untuk menjamin adanya kesejahteraan masyarakat melalui pemenuhan kewajiban bersama dan pemerataan hasil pembangnan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan
Pemikiran Ekonomi Islam Pemikiran
Ekonomi Islam diawali sejak Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rosul.
Rosululoh SAW mengeluarkan sejumlah kebijkan yang menyangkut berbagai hal yang
berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqih),
politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah).
Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rosululloh SAW, karena masalah
ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan.
Tokoh
pemikir ekonomi islam Zaid bin Ali (738), Abu Hanifa (798), Ibnu Farabi
(950), Ibnu Sina (1037), Al-Ghazali
(1111), Ibnu Taimiyah (1328), Ibnu Khaldun (1040), Ibnu Rusyd (1198), Jamaluddin
Al-Afghani (1897), Muhammad Iqbal (1938),
Syekh Ahmaad Sirhindi (1524).
[1]
Roger Owen, The Middle East in the world economy,(London:IB. Tauris,1993)
[2] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), h. 231
[3] http://abufitriambardi.blogspot.com/2010/09/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam-abu.htm
[4] Ibid,
Jaribah Ibn Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi……….hal. 643
[5] Adimarwan Azwar
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,(Rajawali Press, Jakarta :
2006),hal.54-55
Super nih blognya menjadi panutan
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus