Makalah Akuntansi Transaksi Asuransi



Makalah Akuntansi Transaksi Asuransi



BAB I
PENDAHULUAN


 
1.      Latar Belakang

Dalam kehidupan, seorang manusia pasti akan mengalami sebuah musibah atau sebuah masalah yang mana masalah tersebut akan menimbulkan sebuah kerugian atau risiko. Nah dalam hal ini ada yang namanya asuransi, yang berfungsi sebagai solusi untuk mengatasi hal tersebut.  Sebagai orang muslim disini kami akan membahas mengenai akuntansi transaksi Asuransi yag Syariah tentunya. Sehingga dengan adanya pembahasan ini maka kita akan tahu dan paham mengenai akuntansi Asuransi. Akuntansi Asuransi yang akan kami bahas disini adalah yang digunakan di lembaga keuangan syariah. Dalam akuntasi asuransi syariah ada beberapa prinsip yang ada didalamnya yang harus diterpakan meliputi : saling bertanggung jawab, saling bekerjasama, saling melindungi. Dan akuntnasi asuransi syariah dan konvensional mempunyai perbedaan. Dan dengan ini kami akan mempersembahkan sebuah makalah yang akan memaparkan hal-hal tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN
1.             Pengertian Asuransi Menurut Syariah

Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min. At-ta’min  memiliki arti member perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Men-ta’min-kan sesuatu, artinya adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap harta yang hilang, dikatakan ‘seseorang mempertanggungkan atau mengasurasnsikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya’.[1]  

Ada tujuan dalam Islam yang menjadi kebutuhan mendasar, yaitu al-kifayah ‘kecukupan’ dan al-amnu ‘keamanan’. Sebagaimana firma Allah swt, “Dialaha Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan’’, sehingga sebagaian masyarakat menilai bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk keamanan. Mereka menyebutnya dengan al-amnu al-qidza i aman konsumnsi. Dari prinsip tersebut, Islam mengarahkan kepada umatnya untuk mencari rasa aman baik untuk dirinya sendiri dimasa mendatang maupun utnuk keluarganya sebgao nasihat Raul kepada Sa’ad bin Abi Waqqash agar mensedekahkan sepertiga hartanya saja. Selebihnya ditinggalkan untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi bebean masyarakat. Asuransi merupakan bisnis yang unik, yang didalamnya terdapat lima aspek yaitu aspek ekonomi, hokum, social, bisnis, dan aspek matematika[2].  Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.[3]

Menurut Husain Hamid Hisan, mengatakan bahwa asuransi adalah sikap ta’awun yang telah diatur dengan system yang sangat rapih, antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiawa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut, mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang  tertimpa musibah.[4]

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesi (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberikan definisi tentang asuransi. Menurutnya, Asuransi Syariah (Ta’min, Tafakul, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.[5]  Dari definisi di tersebut tampak bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang disebut dengan ta’awun. Yaitu prinsip hidup saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwal Islamiyah antara sesame anggota perserta Asuransi Syariah dalam menghadapi malapetaka (risiko).     

2.             Landasan Hukum Asuransi Syariah

Hukum-hukum muamalah adalah bersifat terbuka artinya Allah SWT dalam Al-Quran hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja Selebihnya adalah terbuka bagi mujahit untuk mengembangkan melalui pemikirannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist .  Al-Qur’an maupun hadist tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti bahwa asuransi hukumnya adalah haram karena ternyata dalam hokum Islam memuat  substansi perasuransian secara Islami.[6]  Hakikat asuransi secara Islami adalah saling bertanggung jawab, saling bekerjasama, saling tolong menolong, dan saling melindungi penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan secara syaria’t, karena prinsip-prinsip dasar syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat kerataan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka sebagaimana firman Allah Taala dalam Al-Quran surah al-Maidah ayat 2 yang artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa melakukan persiapan untuk menghadapi hari esok. Allah berfirman dalam surat al Hasyr ayat 18: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan [al Hasyr: 18] . Ayat ini dikaitkan oleh sebagian umat Islam dengan aktivitas menabung atau berasuransi. Menabung adalah upaya mengumpulkan dana untuk kepentingan mendesak atau kepentingan yang lebih besar di masa depan, sedangkan asuransi adalah upaya berjaga-jaga jika suatu musibah datang menimpa, di mana hal ini membutuhkan perencanaan dan kecermatan.[7]

Dari segi hokum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata lain, UU No. 2 Tahun 1992, tidak dapat dijadikan landasan hokum yang kuat bagi asuransi syariah. Adapun peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu[8] :

a)             Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003 tentang perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
b)             Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
c)             Keputusan Direktur Jendral Lemabga Keuangan Nomor Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan system Syariah.

3.             Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah

Prinsip utama dalam asuransi syaraiah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa al-taqwa (tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min (rasa aman). Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi tafakul ditegakan atas tiga prinsip utama, yaitu : [9]
a)             Saling bertanggung jawab,
Yang berarti para peserta asuransi tafakul memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musbiah atau kerugian dengan ikhlas.
b)             Saling bekerjasama atau saling membantu.
Yaitu berarti diantara peserta asuransi tafakul yang satu dengan lainya saling bekerjasama dan saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita.
c)             Saling melindungi penderitaan satu sama lain.
Yaitu berarti bahwa para peserta asuransi tafakul akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanya.

4.             Perbedaan Sistem Akuntansi Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional

Konsep akuntansi Islam dan akuntansi konvensional memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Sebab dasar-dasar akuntansi Islam adalah syariat Islam yang diimplementasikan dikalangan masyarakat muslim, yang prosesnya ditangani oleh para akuntan yang mengombinasikan kemampuan dan kecakapan dengan kejujuran kerja. Berdasarkan pengertian, landasan syar’i dan prinsip-prinsip akuntansi syariah serta keterangan-keterangan diatas, dapat kita simpulkan sifat-sifat spesifik akuntansi syariah diantaranya sebagai berikut.[10] :

·         Kaidah-kaidah dasar akuntansi Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah nabawiyah serta fiqih para ulama
·         Akuntansi Islam dilandasi oleh kaidah yang kuat, iman, serta pengakuan bahwa Allah itu adalah Tuhan, Islam adalah agama, Muhammad adalah Rasul, dan juga percaya pada hari akhir.
·         Akuntansi Islam berlandaskan pada akhlak yang baik. Karenanya, seorang akuntansi yang melaksanakan proses akuntansi harus mampu mempunyai sifat amanah, jujur, netral, adil, dan professional.
·         Dalam Islam, seorang akuntan dianggap bertanggung jawab di depan masyarakat dan umat Islam tentang berapa jauh kesatuan ekonomi yang dipengaruhi oleh hokum syariat Islam, terutama yang berkaitan dengan muamalah.
·         Berdasarkan keistimewaan-keistimewaan yang bersifat kaidah dan akhlak, akuntansi dalam Islam juga berkaitan dengan proses-proses keuangan yang sah.
·         Akuntansi dalam Islam sangat memperhatikan aspek-aspek tingkah laku sebagai unsur dan juga berperan dalam kesatuan ekonomi.

Dalam system akuntansi syariah memiliki beberapa perbedaan system akuntansi dengan akuntansi konvensional. Mohamed Arif bin Abdul Rashid, CEO PT. Syarikat Takaful Indonesia, dalam Eccounting Concept In Takaful Busines menjelaskan beberapa perbedaan tersebut sebagai berikut:[11]

a.       Cash Bases
Dalam praktik akuntansi konvensional, premi asuransi diakui sebagai pendapatan, walaupun premi asuransi belum dibayarkan. Sedangkan dalam praktik akuntansi takaful atau asuransi syariah, angsuran atau premi dan laba dari investasi benar-benar diakui sebagai pendapatan jika perusahaan telah menerimanya secara tunai. Praktik akuntansi ini memiliki arti yang penting yang berkaitan dengan system bisnis yang berperinsip pada mudharabah dimana akad mengikat antara peserta dengan perusahaan dalam kesepakatan bagi hasil.
b.      Technical Reserve
Cadangan teknis merupakan bagian dari premi asuransi yang belum dihasilkan atau dikenal sebagai cadangan premi yang belum dihasilkan. Dalam system akuntansi takaful, cadangan teknik dihitung dengan menggunakan metode 1/365. Premi akan diakui sebagai pendapatan serta ditentukan menurut jumlah hari yang sebenarnya selama periode akuntansi dan masa perjanjian/kontrak Tafakul. Premi yang tidak digunakan selama masa perjanjian dianggap cadangan. 
c.       Beban Retakaful
Dalam praktik asuransi konvensional beban reasuransi selama masa perjanjian, diakui sebagai asuransi awal yang dikover. Praktik akutansi ini sesuai dengan standar yang diterima, yaitu perbandingan pendapatan dengan beban yang terjadi pada periode berjalan. Dalam system akuntansi Takaful, beban retakaful selama masa perjanjian diakui sebagai utang sampai angsuran atau premi Takaful dibayar oleh peserta. Akan tetapi, beban retakaful ini akan diakui sebagai pendapatan juika seluruh premi dibayar lebih awal oleh peserta.

d.      Surplus (Pada Asuransi Jiwa)
Dalam asuransi konvensional, surplus dari investasi ditrasfer ke pemegang saham sebagai pendapatan. Tetapi, di Takaful keluarga (jiwa), perusahaan tidak berhak mengakui surplus ini sebagai pendapatan. Pada Takaful keluarga hanya laba dari dana investasi dibagikan antara peserta dan perusahaan sesuai yang diperjanjikan (misalnya 70:30 atau 60:40). Setelah dikurangi bagian keuntungan bagi perusahaan, sisa dari keuntungan ini merupakan pendapatan bagi peserta Takaful yang dikreditan kerening peserta.
e.       Surplus (Pada Asuransi Kerugian)
Laba dari Takaful Umum (kerugian) dibagikan berdasarkan rasio pembagian keuntungan yang telah disepakati antara perusahaan dan peserta Takaful. Keuntungan dibayarkan jika peserta tafakul masih terikat perjanjian atau kontrak. Aspek teknis akuntansi, asuransi Tafakul menggambarkan nilai tambah atau keuntungan yang diungkapkan secara adil dan transparan. Sehingga, baik perusahaan maupun peserta asuransi tafakul tidak merasa dirugikan.[12] Keuntungan lain yang bersifat jangka panjang bahwa adanya nilai kebersamaan, tolong-menolong, dan saling menaggung jika di antara peserta terjadi klaim kerugian. Inilah sisi kemungkinan yang didapatkan dari asuransi Takaful. Secara ringkas perbedaan antara akuntansi asuransi konvensial dengan akuntansi asuransi syariah dapat dilihat pada tabel berikut:
No.
Akuntansi Asuransi Konvensional
Akuntansi Asuransi Syariah
1.
Premi Asuransi diakui sebagai pendapatan meskipun premi asuransi belum dibayarkan
Premi Asuransi benar-benar diakui sebagai pendapatan jika diterima secara tunai.
2.
Beban retakul selama perjanjian diakui sebagai asuransi awal yang dikover.
Beban retakaful diakui sebagai utang sampai angsuran atau premi takaful dibayarkan. Dan beban retakaful diakui sebagai pendapatan jika dibayar lebih awal.
3.
Dana asuransi yang terhimpun dikelola untuk kepentingan bisnis perusahaan dengan keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan dan pemegang saham.
Dana asuransi tafakul yang terhimpun dikelola dengan konsep mudharabah
4.
Laba atau surplus investasi ditrasfer ke pemegang saham.
Laba investasi dari dana Takaful keluarga yang terhimpun dibagikan kepada peserta takaful keluarga dan perusahaan tidak berhak mengakui surplus ini sebagai pendapatan.
5.
Keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan asuransi merupakan laba perusahaan
Ada pembagian keuntungan/berdasarkan rasio yang disepakati dalam perjanjian
Konsep Akuntansi Asuransi Syariah yang diuraikan di atas adalah konsep akuntansi yang menggunakan akad mudharabah sebagaimana yang diterapkan di Syarikat Takaful Berhad Malaysia dan juga diterapkan di PT Asuransi Takaful keluarga Indonesia. Selain ini ada juga model akuntansi asuransi syariah yang menggunakan akad wakalah dan konsep ini diakui berdasarkan Standar Accounting and Auditing Organizing for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Kedua konsep ini menurut saya, menganut kebenaran yang pertama menggunakan akad mudharabah mewakili ‘mazhab Malaysia’ (Cash Bases), sedangkan yang kedua akad wakalah mewakili ‘Mazhab Bahrian’ (Accrual Bases).[13]
5.             Implementasi Akuntansi Islam pada Asuransi Syariah

a.       Akuntansi syariah dengan akad mudharabah.

Dalam akad ini terdapat pemisahan pengelolaan dana antara dana pemegang saham(DPS) dengan dana peserta asuransi (DPA). Perusahaan bertindak sebagai pemegang amanah untuk mengelola kontribusi yang diterima dari peserta yang digunakan apabila di antara para peserta terjadi musibah. Di lain pihak ,peserta menyetujui Bahwa dana ynag disetor akan dikelola secara professional oleh operator. Jika pada akhir periode, peserta yang tidak mendapatkan musibah akan memperoleh bagi hasil. Dengan demikian, dalam akad ini dana yang disetorkan partisipan merupakan milik peserta, dan tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan pemegang saham. Konsikuensinya, system akuntansi yang diterapkan harus dipisahkan antara akuntansi Dana Pemegang Saham (DPS) dengan akuntansi Dana Peserta Asuransi (DPA).[14]

b.      Akuntansi syariah dengan akad wakalah.

Dalam akad ini tidak terdapat pemisahan penegelolaan dana antara pemegang saham dengan dana peserta asuransi. Perusahaan menerima dana tabarru’ dari peserta dan berhak digunakan untuk seluruh kegiatan perysahaan. Dana yang berasal dari pemegang saham dengan dana peserta dicampurkan. Sehingga, konsekuensinya, akuntansi tidak harus dipisahkan antara akuntansi dana pemegang saham dengan akuntansi dana peserta asuransi.[15]




6.             Cash Basis dan Accrual Basis

Persoalan kontroversi yang dalam system akuntansi syariah yang sampai saat ini masih belum selesai adalah persoalan pengakuan pendapatan, penganut cash basis dan akrual basis. Yang dimaksud dengan cash basis di sisni adalah pendapatan premi diakui saat polis ibayar tunai, dan biaya tetap dicatat secara accrual.

Sedangkan ,accrual bases adalah pendapatan premi sudah diakui pada saat penerbitan polis, dan biaya tetap dicatat secara accrual. Penganut cash basis berpendapat, sebagai konsekuensi aplikasi akad mudharabah, maka secara syar’I pengakuan pendapatan harus dilakukan secara cash bases, artinya pendapatan premi diakui saat polis telah dilakukan pembayaran tunai kepada perusahaan. Dan ini sangat relevan dengan penerapan bagi hasil, karena perhitungan bagi hasil diberikan dengan mengacu kepada perhitungan mulai sejak polis asuransi dibayarkan.

Di lain pihak, penganut accrual basis tetap berpendapat bahwa prinsip yang dianut tidak melanggar aturan syar’I, baik cash maupun accrual memenuhi ketentuan syariah. Berdasarkan system akuntansi konvensional, premi asuransi diakui sebagai pendapatan sebagaimana tanggal penerbitan polis . Dalam asuransi, perbedaan yang paling mendasar antara akuntansi asuransi syariah dengan akuntansi asuransi konvensional adalah penggunaan cash basis atau accrual basis.

Pada akuntansi asuransi syariah lebih cendrung menggunakan cash basis daripada acrual basis,dengan pertimbangan-pertimbangan syar’i. system accrual bases dianggap bertentangan dengan syariah karena telah mengakui adanya pendapatan, harta, beban, tau utang yang akan terjadi di masa yangbkana datang. Padahal yang akan terjadi tersebut, belum benar-benar terjadi, bisa terjadi dan bisa tidak terjadi. Apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang hanya Allah yang mengetahui.

Mohammad Arif Abdul Rasyid mengatakan bahwa berdasarkan praktik akunting takaful, semua angsuran takaful juga keuntungan atas investasi dan pendapatan dianggap sebagai pendapatan hanya setelah kas actual sudah diterima  perusahaan.Sebagai contoh,premi asuransi benar-benar diakui sebagai pendapatan jika uangnya sudah diterima secara tunai. Sedangkan,pada asuransi konvensional premi asuransi diakui sebagai pendapatan meskipun premi asuransi belum dibayarkan. Pada sisi llain dalam pengakuan sebagai pendapatan, surplus dari dana investasi hanya dapat diakui sebagai pendapatan setelah terjadi bagi hasil antara peserta dan perusahaan. Hal ini tentu berbeda dengan asuransi konvensional di mana surplus dari investasi dapat langsung ditransfer ke rekening  pemegang saham sebagai pendapatan.

Konsep akuntansi yang diterapkan pada asuransi konvensional adalah accrual bases yaitu suatu proses akuntansi untuk mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan non kas. Accrual basis mengakui pendapatan dan adanya peningkatan yang terkait dengan asset dan beban serta adanya peningkatan yang terkait dengan utang dalam jumlah tertentu yang kan diterima atau dibayar dalam bentuk kas di masa yang akan datang.

Sistem Akuntansi di Indonesia saat ini masih tetap mengacu kepada PSAK No. 28 yang berlaku, dimana pengakuan pendapatan harus dicatat secara accrual. Demikian juga dengan Majelis Ulama Indonesia, telah mengeluarkan fatwa tentang accrual bases maupun cash bases melalui fatwa DSN-MUI[16]  :



a.       Pada dasarnya. LKS boleh mengunakan system Accrual Bases maupun Cash Bases dalam administrasi keuangan
b.      Dilihar dari segi kemaslaharan, dalam pencatatan sebaiknya digunakan system Accrual Bases. Tetapi dalam distribusi hasil Usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi ( Cash Bases).
c.       Penetapan system yang dipilih harus disepakati dalam akad.



BAB III
KESIMPULAN

Asuransi Syariah  adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling tolong menolong, yang telah diatur dengan system yang telah ditentukan antara sejumlah orang, yang bertujuan untuk menghilangkan atau menringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa dari sebagian orang tersbut. Landasan Asuransi syari’ah dalam Al-Quran tidak dijumpai namun, asa sejumlah kata dengan Takaful, seperti dalam surah Thahaa ayat 20, Al-Maaidah ayat 2. Perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional memiliki perbedaan yang mendasar dalam beberapa hal antara lain : keberadaan DPS dalam perushaan asuransi, Prinsip akad asuransi syariah adalah takaful, dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah diinvestasikan berdasarkan syariah, premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah, keuntungan invests dibagi dua.


[1] Muhammad Syakir Sula,  Asuransi Syariah (Life and General), Jakarta: Gema Insani, 2004 hal. 28

[2] Herman Darmadi, Manajeman Asuransi 2000, Bumi Aksara, Jakarta h. 2
[3] http://www.takafulumum.co.id/index.php/in/berita-terkini/65-definisi-asuransi-syariah-a-konvensional
[4] Op. cit., h. 29.
[5] Op. cit., h. 30.
[6] Dewi Gemala, Aspek Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 141.
[7] http://sitisarahadi.wordpress.com/2013/06/22/tugas-makalah-akuntansi-asuransi-syariah/
[8] Op. cit., h. 142.
[9] Op. cit., h. 146.
[10] Muhammad, Op. cit., h.394
[11] Muhammad, Op. cit., h.397
[12] Sofyan Syafri harahap, PhD. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Standar Akuntansi Asuransi Islam. (Jakarta : Pustaka, 2001), h. 275
[13] Muhammad, Op. cit., h 400.
[14] Muhammad, Op. cit., h 410.
[15] Muhammad, Op. cit., h 413.
[16] Fatwa Dewan Syariah Nasional No:14/DSN-MUI/IX/2000, Tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syariah.

0 komentar:

Posting Komentar

Mauu komentar ? silahkan :D
Maaf jika ada penulisan kata yang kurang jelas hihi kadang suka typo
Jika ada kesalahan dalam postingan, silahkan kasih komentar dan saran yah hihi
Terimakasih banyak :)